Mediasi sebagai Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam di Indonesia

Oleh: Ahmad Zazali

Konteks

Konflik atau Sengketa Agraria dan Sumber Daya Alam di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan, ham-pir tiap saat konflik yang terjadi di lapangan menghiasi pemberitaan media baik elektronik maupun cetak di Daerah dan Nasional. Konflik-konflik yang terjadi telah menyebabkan kerugian/kehilangan materil maupun immateril, telah menimbulkan duka bagi keluarga korban yang mengalami kekerasan, dan dendam.

Konflik-konflik yang muncul umumnya berangkat dari tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan (tenure conflict) hutan dan lahan di lapangan, baik terjadi antara masyarakat dengan pemegang ijin sektor ke-hutanan, perkebunan maupun pertambangan, maupun antara masyarakat dengan kawasan hutan negara terkait penetapan kawasan lindung dan konservasi. Konflik juga terjadi antara masyarakat dengan masyarakat terkait tata batas kampung/desa dan klaim wilayah ulayat.

Jika ditelisik mendalam, konflik-konflik ini terjadi karena: (1) kebijakan-kebijakan sektoral yang satu sama lain sering kali tumpang tindih hingga ke data-data spasial yang digunakan, (2) Ketidakpastian alokasi ru-ang kelola untuk masyarakat dalam kebijakan tata ruang, (3) Belum efektifnya lembaga-lembaga pemerintah (Nasional, Daerah/Tapak) untuk melakukan pencegahan maupun penyelesaian konflik, (4) Kurang tersedi-anya sumber daya yang memiliki keterampilan, siap bekerja sungguh-sungguh serta memiliki passion untuk menyelesaikan konflik di berbagai tingkatan.

Namun demikian, kelompok masyarakat sipil telah sejak lama mengingatkan pemerintah akan pentingan penyelesaian konflik-konflik tenurial ini. Pada tahun 2011 kelompok masyarakat sipil menyelenggarakan konferensi Tenurial kawasan hutan dan berhasil merumuskan peta jalan (roadmap) sebagai rekomendasi kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan ketika itu. Peta jalan ini menetakan pada 3 pilar yaitu (1) Percepatan pengukuhan kawasan hutan; (3) Perluasan ruang kelola masyarakat; (3) Penyelesaian konflik (termasuk pencegahan konflik baru).

Banyak Perkembangan pasca konferensi tenure dan peta jalan pembaharuan tenurial 2011, baik yang lahir dari inisiatif masyarakat sipil maupun pemerintah sendiri. Pada Tahun 2015 Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meresponnya dengan pembentukan Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat di bawah Direktorat Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Pada kalangan masyarakat sipil juga banyak bermunculan inisiatif pencegah dan penyelesaian konflik, baik melalui program-program pemberdayaan maupun layanan-layanan yang bersifat terbuka ke publik.

IMN tumbuh dan berkembang sebagai lembaga yang mengusung pendekatan Mediasi sebagai mekanisme yang diutamakan dalam penyelesaian konflik sumber daya alam. Dalam 4 tahun terakhir IMN mengembangkan layanan di tingkat Nasional hingga Tapak dengan 4 pendekatan utama yaitu : (1) Asesmen Konflik; (2) Fasilitasi dan Mediasi Konflik Secara Langsung; (3) Pelatihan-Pelatihan, dan; (4) Dukungan Penguatan Kebijakan dan Kelembagaan Penyelesaian Konflik. Dalam pelaksanaan layanan IMN berusaha merangkul pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan swasta.

Banyak pembelajaran yang didapat selama berproses dengan para pihak berkonflik, terutama ketika Mediator-Mediator IMN menjadi penengah penyelesaian konflik. Jenis Konflik yang pernah dimediasi IMN dalam 4 tahun terakhir ini umumnya adalah konflik karena tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan hutan dan lahan, meliputi: (1) Masyarakat dengan Pemegang Konsesi Hutan Tanaman; (2) Masyarakat dengan Pemegang Konsesi Restorasi Ekosistem; (3) Masyarakat dengan Pemegang Konsesi Perkebunan (terutama komoditi Sawit); (4) Koperasi dengan pemegang konsesi Perkebunan; (5) Sesama Pemegang Konsesi Perkebunan; (6) Masyarakat dengan masyarakat; (7) Masyarakat dengan Proyek bendungan pembangkit listrik terkait dampak lingkungan.

Dalam memberi layanan Mediasi, IMN didukung oleh Mediator-Mediator bersertifikat dan merujuk pada Kode Etik (Pedoman Prilaku) Mediator di bawah Mahkamah Agung. Sistem layanan IMN diatur dalam Standar Operasional Layanan Mediasi yang bisa diakses oleh publik secara luas, meliputi tahapan Pra Mediasi; Mediasi dan Pasca Mediasi. Tahap Pra Mediasi dimulai ketika Pihak-pihak yang berkonflik mengajukan permohonan Mediasi, lalu kemudian dikonfirmasi ke Termohon untuk mendapatkan persetujuan proses mediasi; Menerima Permohonan dari salah satu pihak atau para pihak; Mengumpulkan dan Menelaah Informasi dan data;Memilih dan Menyepakati Tim Mediator; Mendapatkan Mandat; Membangun Kesepahaman Awal; dan Menyepakati Aturan Main. Tahap Mediasi dibagi atas Tahap Pendefenisian Masalah dan Tahap Pemecahan Masalah. Sedangkan tahap Pasca Mediasi meliputi Memperkuat kesepakatan : Akta bawah tangan, Akta Autentik, Putusan Pengadilan/Akta Perdamaian; Menyusun Rencana Kerjasama Jangka Panjang dan Mencegah Munculnya Konflik Baru; dan Monitoring Implementasi Kesepakatan.

Ragam Kesepakatan yang dihasilkan

Proses penyelesaian konflik tenurial menggunakan mekanisme mediasi sangat berbeda dengan mekanisme legal formal/pengadilan, karena sifatnya lebih fleksibel dan aturan main disepakati sendiri oleh para pihak. Kesepakatan bisa beragam untuk satu kasus bisa beragam, karena prinsip yang digunakan dalam mediasi adalah berupaya “memperbesar kue”, artinya pemenuhan kesepentingan masing-masing pihak tidak semata-mata fokus pada masalah substansi semata tapi bisa juga meliputi hal-hal lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kemungkinan yang dihasilkan dari proses Mediasi yang pernah dilakukan IMN, antara lain: Pengelolaan Bersama, Kemitraan Kehutanan, Perhutanan Sosial, Kompensasi, Kerjsama Bagi Hasil, Pemulihan, Program Pemberdayaan dan CSR, Rekrutmen TK Lokal, Revisi Tata Ruang, Revisi Tata Batas. Kesepakatan Mediasi juga bisa meliputi hal-hal yang bersifat prasyarat untuk mencapai pemenuhan kesepakatan final, seperti: Penghentian Kegiatan Sementara, Penilaian Independen, Pencabutan Laporan, Penarikan Aparat, Permintaan Maaf, Sumpah Adat/Upacara Adat, Forum Komunikasi/Kolaborasi, Monitoring Bersama.

Bentuk Kesepakatan hasil Mediasi juga relatif fleksibel dan memungkinkan kepentingan para pihak terpenuhi walaupun tentu tidak 100%, Para pihak bisa menyepapakati penyelesaian melalui mekanisme Mediasi untuk hal-hal tertentu saja, sementara hal lain bisa diselesaikan melalui mekanisme di luar Mediasi. Jadi Kesepakatan bisa berbentuk : kesepakatan penuh untuk semua isu atau masalah atau substansi, kesepatan untuk sebagian objek saja dalam hal terdapat beberapa objek yang ingin diselesaikan, atau kesepakatan untuk sebagian subjek saja dalam hal ada beberapa pihak yang terlibat dalam konflik.

Pada Saat kesepakatan sudah dihasilkan, Mediator akan memfasilitasi para pihak berkonflik untuk men-uangkan kesepakatan menjadi dokumen yang memenuhi standar umum sebuah kesepakatan atau perjanjian, yang dapat berupa: kesepakatan tertulis; kesepakatan diperkuat dengan akte notaris (Acta Authentic); ke-sepakatan diperkuat dengan putusan pengadilan (Acta Van Dading). Penekanan pilihan-pilihan ini penting untuk menghindari munculnya konflik lain di kemudian hari.

Tantangan dan Pembelajaran

Berdasarkan pengalaman penulis menjadi mediator dan fasilitator dalam penyelesaian konflik tenurial, banyak pembelajaran yang dipetik. Pembelajaran ini sekaligus tantangan yang harus dihadapi ketika seseo-rang berperan sebagai Mediator, baik berasal dari internal para pihak berkonflik maupun berasal dari pihak eksternal para pihak pihak berkonflik, serta tantangan yang berasal dari pihak Mediator sendiri.

  1. Memastikan Objek dan Subjek.

Seringkali perdebatan tentang status, letak, tata batas, luas dan riwayat klaim menjadi proses panjang di tahap awal mediasi, terutama dalam situasi dimana masing-masing pihak menggunakan sumber data dan informasi yang berbeda. Mediator dalam kasus seperti ini tetap memberikan keleluasaan terlebih dahulu kepada masing-masing pihak untuk menyampaikan argumentasi yang menjadi landasan klaimnya, namun jika para pihak mengarah pada kebuntuan baru kemudian Mediator menawarkan solusi. Solusi yang bi-asanya dipilih yaitu melakukan proses peninjauan bersama ke lapangan atau pemetaan partisipatif yang di-ikuti wakil dari masing-masing pihak berkonflik.

  1. Tuntutan di luar kewenangan Mediasi/Fasilitasi

Ekspektasi orang berkonflik biasanya adalah untuk menghasilkan target tertinggi dari kepentingannya. Na-mun kadangkala tanpa disadari tuntutan yang disampaikan sebenarnya sudah melampaui kewenangan yang dapat dihasilkan dari proses mediasi, misalnya minta dikeluarkan kawasan hutan, minta ijin perusahaan di-cabut, atau minta pembebasan tahanan di Kepolisian. Dalam kondisi seperti ini Mediator dituntut harus mampu mengidentifikasi level kepentingan yang ada dibalik target atau tuntutan tertinggi pihak berkonflik, dan harus mampu membawa arah pembicaraan ke level kepentingan yang memungkinkan terjadi konsensus.

  1. Perbedaan atau perpecahan internal

Konflik yang sudah berlangsung lama seringkali menyebabkan terjadinya perpecahan di internal masyarakat, baik terjadi secara alamiah maupun intervensi/penetrasi langsung dari lawan konflik. Perpeca-han yang terjadi kadangkala menyebabkan proses mediasi harus dihentikan sementara dan memberi kesem-patan kepada mereka untuk menyelesaikan persoalan internalnya secara mandiri. Kadangkala Mediator dim-inta untuk membantu mempercepat penyelesaian, baru kemudian mediasi dapat dilanjutkan. Faktor penyebab perpecahan, terutama di Internal masyarakat sangat beragam, seperti keberpihakan pada perusahaan kare-na dipekerjakan, perolehan manfaat individu/keluarga/kelompok dari lawan konflik, perpecahan karena perbedaan dukungan politik ketika suksesi kepala kampung/desa/gampong, atau karena isu-isu yang senga-ja bertujuan memecah-belah untuk tujuan-tujuan tertentu baik dari lawan politik maupun dari lawan konflik.

  1. Perbedaan tafsir terhadap kebijakan yang dijadikan rujukan penyelesaian

Sebuah keniscayaan dalam konflik yang sudah berkepanjangan dan tidak terkelola dengan baik, dimana masing-masing pihak akan mencari kebijakan yang bisa melemahkan lawan dan memperkuat dirinya. Se-hingga tafsir terhadap kebijakan yang dijadikan rujukan seringkali harus difasilitasi untuk mendapatkan tafsir yang sama. Pada kasus ini kehadiran pihak ketiga sebagai ahli sangat dibutuhkan untuk memberikan tafsir yang netral/independen. Namun sebelum ahli dihadirkan, Mediator harus mengajak para pihak menyepakati status dan kekuatan mengikat dari kesaksian ahli, pilihannya mengikat penuh atau hanya seba-gai bahan pertimbangan para pihak berkonflik.

  1. Kekawatiran perbuatan masa lalu mengangkat sehingga memperngaruhi reputasi/karir

Konflik seringkali diselesaikan secara parsial untuk menutupi perbuatan masa lalu yang bisa berakibat fatal bagi karir atau reputasi individu yang terlibat konflik. Kondisi ini biasanya terjadi pada Individu-individu di perusahaan atau di pemerintahan. Bagi Mediator hal ini adalah kepentingan tersembunyi yang perlu dike-tahui sehingga memudahkan Mediator untuk mengajak individu yang bersangkutan mengatasi kekawatiran tersebut. Walau dalam praktiknya tidaklah mudah.

  1. Wan Prestasi atau tidak melaksanakan isi kesepakatan.

Ketika kesepakatan sebagian atau keseluruhan atas substansi konflik sudah dihasilkan, maka bukan berarti semua bisa berjalan lancar, seringkali kesepakatan tidak dijalankan baik karena kelalaian, perbedaan tafsir maupun disengaja. Mediator harus mengantisipasi hal-hal seperti ini, antara lain dengan membuat sedetail mungkin isi kesepakatan sehingga memenuhi kaidah 5W1H (what, who, why, where, when dan how), hindari istiah-istilah asing (termasuk bahasa hukum) yang bisa multi interpretasi. Perlu ditegaskan juga bahwa itikad baik adalah modalitas utama jika konflik mau diakhiri.

  1. Intervensi atau pengaruh pihak luar

Konflik seringkali jadi komoditi politik menjelang suksesi pemilihan pimpinan Nasional, Provinsi, Kabupaten/ Kota hingga pada level terendah pemilihan kepada desa. Dalam pengalaman penulis, pengelolaan konflik di lapangan diidentikan sebagai jembatan untuk mendapatkan dukungan elektoral. Selama proses suksesi poli-tik berlangsung konflik yang tadinya laten (tersembunyi) mendadak mencuat ke permukaan ataupun konflik yang tadinya sudah hampir selesai atau telah selesai bisa tiba-tiba muncul lagi. Mediator dalam kasus seperti ini wajib mengingatkan agar para pihak jangan terjebak dengan kepentingan pragmatis sesaat, juga menjelaskan bahwa janji politik bukanlah keputusan yang mengikat dan bisa dioperasionalkan, karena itu jangan terjebak.

  1. Dukungan birokrat di pusat-daerah kadang rendah

Sebagai Mediator di luar pemerintah Penulis dituntut harus mampu untuk dapat melibatkan peran pemerin-tah baik nasional maupun daerah dalam proses mediasi. Pelibatan Pemerintah penting baik sebagai narasumber maupun sebagai penyedia solusi melalui peluang kebijakan-kebijakan yang ada. Namun kehadiran pemerintah haruslah berdasarkan persetujuan para pihak yang di Mediasi. Ada beberapa kasus dimana para pihak tidak menginginkan kehadiran pemerintah karena pengalaman masa lalu pernah dikecewakan. Namun sebagian besar dari pengalaman penulis para pihak menginginkan kehadiran pemerintah di tengah proses mediasi. Biasanya Mediator adalah pihak yang diberi tugas menghadirkan perwakilan dari pemerintah, oleh karenanya Mediator dituntut memiliki relasi yang baik dengan Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah dimana konflik akan dimediasi.

  1. Publikasi Media yang mempengaruhi kondusifitas proses dan lapangan.

Kerahasiaan merupakan salah satu prinsip penting yang harus dijaga selama proses mediasi berlangsung, tidak ada publikasi terhadap proses maupun substansi yang sedang dibicarakan dalam mediasi. Namun kadangkala sulit dihindari manakala para pihak atau salah satu pihak membocorkan ke media. Dampak dari pemberitaan bisa menimbulkan reaksi yang mengganggu kondusifitas di lapangan, terutama apabila pemberi-taan menyinggung masalah-masalah sensitif dan isu atau substansi permasalahan yang masih dalam pem-bahasan alot. Karena itu, Mediator perlu menekankan kepada para pihak untuk menjaga informasi dan data yang berhubungan dengan proses dan hasil tidak diberikan kepada media (pers).

  1. Wawasan dan Pengalaman

Mediator dalam membantu penanganan konflik sumber daya alam dituntut memahami secara mendalam isu-isu kebijakan dan ragam jenis konflik tenurial di tempat-tempat lain. Mengingat kebijakan di sektor sumber daya alam, khususnya kehutanan yang beragam dan banyak sekali serta kadang-kadang terjadi tumpang-tindih satu sama lain. Selain itu, Pengalaman atau jam terbang jadi penting, karena konflik tenurial memiliki dimensi yang komplek. Jadi Mediator mesti banyak memiliki referensi pola-pola penyelesaian dengan be-ragam kondisi sosial budaya, beragam landscape, dan beragam jenis konflik serta beragam stakeholders. Wawasan dan Pengalaman akan mempermudah Mediator membantu para pihak mendefenisikan dan memecahkan masalah secara tepat.

  1. Keuletan dan Kesabaran mengatasi emosi dan jalan buntu

Mediator dituntut punya daya tahan menghadapi dinamika yang berkembang dalam proses mediasi, karena seringkali dalam proses mediasi terdapat pernyataan-pernyataan yang menyebabkan para pihak adu argu-mentasi yang kurang sehat dan berujung pada emosi/amarah. Mediator harus ulet dan sabar menjaga ira-ma negosiasi para pihak dengan selalu mengingatkan pentingnya itikad baik, berkepala dingin, dan fokus pada pemecahan masalah bukan pada orang. Sesekali Mediator harus mengingatkan para pihak pada aturan main, jika tetap belum kondusif maka Mediator bisa mengajak para pihak istirahat (break) dan melakukan pertemuan secara terpisah (caucus meeting).

  1. Kepastian dukungan Logistik

Keberlangsungan dan efektifitas proses mediasi sangat berhubungan juga dengan ketersediaan logistik, seperti tempat pertemuan, konsumsi, Alat Tulis, dan perlengkapan lainnya. Logistik berkaitan langsung den-gan ketersediaan anggaran. Pengalaman Penulis, Anggaran Mediasi sebaiknya dibicarakan sejak dari awal sebelum pertemuan mediasi perdana dilakukan. Beban anggaran bisa merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung 1 tahun 2016 yang menyatakan bahwa beban anggaran mediasi yang dibantu Mediator non Hakim dibebankan kepada para pihak yang bersengketa secara merata. Namun demikian, dalam praktik yang di-alami penulis pembagian beban secara merata sulit diterapkan, terutama dalam konflik masyarakat dengan perusahaan. Pemecahannya dilakukan melalui musyawarah melibatkan para pihak secara terbuka, biasanya Mediator membantu mendeskripsikan rincian anggaran yang dibutuhkan selama proses mediasi, misalnya selama 3 bulan, dan Mediator minta kesediaan masing-masing pihak untuk memilih item pembiayaan mana yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk item honor mediator (jika berbayar). Dengan Metode ini logistik bisa diatasi dan tidak muncul kecurigaan dari salah satu pihak kenetralan Mediator jika sebagian besar ke-butuhan Mediator menjadi beban tanggung jawab yang disediakan salah satu pihak.

  1. Kemampuan membangun trust dan menjaganya

Selain soal anggaran atau logistik, Mediator juga mesti mampu memperlihatkan ketidakberpihakan kepada salah satu pihak yang sedang dimediasi. Karena itu, jika ingin bertemu terpisah di luar forum mediasi formal maka sebaiknya Mediator memberitahukan kepada pihak yang lainnya atau melakukan pertemuan serupa secara bergantian. Hal lain juga terkait dengan bahasa verbal berupa kata atau kalimat yang diucapkan Me-diator selama proses mediasi, harus mampu meramu kata atau kalimat yang terdengar netral dengan tidak menghilangkan substansi permasalahan yang akan dipecahkan. Berikutnya, Mediator juga penting mem-perhatikan bahasa non verbal atau bahasa tubuh selama proses mediasi, karena terkadang tanpa disadari bahasa tubuh menunjukkan dukungan kepada salah satu pihak.

  1. Menjaga tetap imparsial/netral/independen/tidak Konflik kepentingan.

Ini masih terkait dengan bahasa atau komunikasi verbal dan non verbal seorang Mediator, namun secara lebih luas, penulis ingin menyampaikan bahwa ketika Mediator dalam kasus yang melibatkan aset bernilai tinggi ataupun sangat bernilai penting dan vital, maka akan muncul godaan baik langsung maupun tidak langsung dari salah satu pihak atau bahkan dari masing-masing pihak agar Mediator mengkondisikan arah kesepakatan kepada kepentingan tertentu dari salah satu pihak dengan disertai tawaran fee yang meng-giurkan. Disini Ujian bagi Mediator untuk tetap menjaga Imparsialitas, netralitas, independensi supaya tidak konflik kepentingan. Atasilah godaan ini dengan selalu berpegangan bahwa keberpihakan Mediator adalah kepada para pihak, dan kepentingan Mediator adalah konflik dapat selesai dengan kesepakatan yang dihasilkan secara sukarela, penuh kesadaran, menjaga hubungan baik jangka panjang dan tidak ada yang merasa dikalahkan atau kehilangan muka.

Pembaharuan dan Penguatan

Dalam konteks percepatan dan pengefektifan penanganan dan penyelesaian konflik tenurial di Indonesia, terlalu dini untuk menyatakan kondisi yang ada sekarang sudah ideal, melainkan masih banyak hal-hal yang menjadi prasyarat penting yang harus diperbaharui atau diperkuat, antara lain yaitu:

Pertama, Kebijakan dan Kelembagaan Penanganan Konflik. Kebijakan nasional tentang penanganan kon-flik yang sudah ada, seperti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang perlu diperkuat hingga pada level Eselon I atau Direktorat Jendral (Dirjen). Partisipasi Pe-merintah Daerah juga perlu diperkuat dengan membentuk lembaga penyelesaian konflik di bawah Gubernur, bisa dengan cara menempel di Dinas-Dinas terkait ataupun kelembagaan lintas sektoral, termasuk kelemba-gaan di level tapak yaitu KPH. Begitu juga kelembagaan di tingakt Nasional, akan lebih efektif jika terbentuk kelembagaan yang langsung di bawah Presiden yang salah satu tugasnya mengkoordinasikan kelembagaan penyelesaian konflik antar Kementerian atau melakukan fungsi suvervisi, Namun dalam hal konflik yang terjadi melibatkan beberapa Kementerian lembaga maka kelembagaan ini bisa mengambil alih fungsi penyele-saian konflik tersebut.

Kedua, Peta Jalan Penanganan Konflik Nasional dan diterjemahkan hingga ke tingkat Tapak. Seiring ter-bentuknya kelembagaan di level Nasional, maka sebagai acuan arah kebijakan penyelesaian konflik hingga ke level Tapak, maka diperlukan peta jalan penanganan konflik nasional yang selanjutnya diterjemahkan lebih operasional dalam berbagai kebijakan dan program penyelesaian konflik. Semoga Peta Jalan Pem-baruan Tenurial yang dihasilkan dalam konferensi tenurial tanggal 25-27 Oktober 2017 akan melahirkan Peta Jalan yang bisa disumbangkan untuk maksud tersebut.

Ketiga, Program Perluasan Wilayah Kelola Masyarakat. Ini merupakan rogram yang sedang menjadi buah bibir publik hingga saat ini, Namun masih berjalan belum maksimal, baik dari segi dukungan administratif pengalokasian areal yang clear and clean untuk Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria maupun dari segi dukungan politik serta anggaran. Pengalokasi areal wilayah kelola rakyat idealnya masuk menjadi bagian yang pasti dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah di berbagai tingkatan, dan dialokasikan pada la-han-lahan mineral yang produktif untuk pengembangan usaha bernilai ekonomis jangka panjang, kemudian diikuti oleh dukungan politik dan anggaran yang cukup untuk mendukung terealisasinya.

Keempat, Kebijakan Satu Peta bebas konflik sebagai rujukan Rencana Tata Ruang Nasional – Provinsi – Kab/Kota. Upaya menyatukan berbagai peta yang masih kental dengan kepentingan sektoral sangat

mendesak dilakukan. Sehingga rencana-rencana tata ruang wilayah sebagai dasar untuk pembangunan punya pedoman yang sama, terhindar dari konflik tumpang tindih dalam implementasi pembangunan di la-pangan. Hal ini juga dapat mendukung efisiensi penggunaan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Kelima, Internalisasi Nilai-Nilai Perdamaian dan Harmoni. Nilai-nilai perdamaian dan Harmoni semakin terkikis seiring pembangunan yang bercorak persaingan bebas dan individualis, karena itu nilai-nilai ini harus kembali menjadi bagian dari setiap Rencana Pembangunan di berbagai tingkatan, dari Nasional hing-ga ke Tapak. Internalisasi Perdamaian dan Harmoni bisa masuk ke kurikulum-kurikulum pendidikan anak sejak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi di Indonesia.

Keenam, Mediator/Fasilitator Penyelesaian Konflik di Tiap Kelembagaan. Praktisi Resolusi Konflik dan Perdamaian di Indonesia harus mendapat dukungan kebijakan untuk berkembang, baik melalui kelembagaan penyelesaian konflik pada Instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial dan profesi Mediator.

One Thought to “Mediasi sebagai Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam di Indonesia”

  1. […] dan akreditasi mediator. Tahapan-tahapan mediasi tersebut salah satunya dapat merujuk pada Pedoman Perilaku Mediator dari Mahkamah […]

Leave a Comment